Wednesday 23 May 2012

My Soul In Cleopatra



Pagi yang cerah kembali menyapa. Sama seperti biasa. Secangkir teh hangat dan semangkuk bubur selalu menjadi menu sarapan pagiku. Itulah teman setia saat Aku akan memulai aktivitas.

Sejak kecil aku mengidap penyakit akut yang mewajibkanku untuk sarapan tepat waktu. Apalagi dengan kesibukan yang semakin padat sebagai mahasiswa. Tapi itu semua selalu kujalani dan kunikmati sebagai karunia dari Allah yang maha kuasa terhadap diriku. Nikmat iman, hidup, keluarga, hingga percintaan sering aku utarakan lewat facebook.

Pagi itu sukmaku kembali bersua. Kutorehkan untaian nada indah di akunku. Facebook yang secara tidak langsung telah menjadi tempat curhatan sekian ribu orang juga telah ikut menjadi tempat curahan sanubariku dalam berbagi suka maupun duka.

Tanpa mengulur waktu. Kuambil notebook dan modem yang berada tepat di atas lemari baju. Merekalah yang setia menemani hari-hariku dalam mengerjakan tumpukan tugas kuliah sejak masuk di bangku perkuliahan. Hadiah terindah pemberian kedua orang tuaku ini menjadi bukti kerja kerasku selama bersekolah. Sejak SD hingga SMA Aku telah meraih prestasi baik di tingkat akademik maupun non akademik. Sehingga orang tuaku semakin protektif terhadapku dengan menghadiahkannya. Mereka ingin agar aku lebih fokus belajar dan mampu meraih cita-citaku.
***
“Wow???, Subhanallah, amazing.” Aku shock sambil memegang kedua pipiku yang tembem. Spontan aku terkaget-kaget saat melihat setiap statusku yang telah dua minggu kutinggalkan kini telah dihiasi komentar. Komentar yang sungguh mulia lagi bermakna dengan nada agung bertuliskan Subhanallah, Alhamdulillah, Masya Allah, dan Allahu Akbar.

Dia telah melukis indah dinding facebook milikku dengan balutan nuansa islami yang tampak semakin menawan. Kusorotkan mata bulatku pada foto profil pemilik komentar yang tampak pada dinding facebookku. Masya Allah, ternyata komentar itu berasal dari seorang ihwan.

“Masya Allah. Pantas saja komentar ini begitu membuatku terpukau. Ternyata dari seorang ikhwan” ujarku dengan nada bahagia.

Inilah awal dimana takdir mempertemukan kami lewat akun facebook. Setelah lebih dari satu minggu. Aku kembali bersua dengan dunia maya. Nyatanya, ia tidak juga beranjak menghiasi setiap statusku dengan komentar indahnya.

Aku yang mulai penasaran, tanpa berpikir panjang langsung menyapa untuk pertama kalinya lewat obrolan pesan facebook.

“Assalamu alaikum wr.wb. Afwan, cuman mau tanya apa akhi kenal sama saya?”

“Waalaikum salam wr.wb. Sebenarnya tidak ukhti. Tapi sekarang, saya mulai belajar mengenal ukhti”

Afwan, maksudnya?”

“Perkenalkan nama saya Muhammad Asyraf. Sekarang Saya sudah berusia 26 tahun dan berprofesi sebagai badan pemeriksa keuangan di gedung rektorat universitas Leader. Saya juga sudah menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Leader. Dulu saya seorang mahasiswa jurusan ekonomi akuntansi. Alhamdulillah, Saya tidak pernah pacaran dan belum menikah. Kalau ukhti fakultas dan jurusan apa?”

Membaca pesannya Aku langsung tertawa hingga perutku kesakitan. Bagaimana tidak. Dia seakan sedang memperkenalkan dirinya secara resmi di hadapan juri pemilihan kontes kontak jodoh. Pekerjaan, usia hingga status yang sedang disandangnya juga ikut Dia jelaskan tanpa Aku minta. Tapi karena menghargai prestasi yang telah Dia raih maka kubalas dengan pujian.

“Subhanallah. Prestasi yang sangat membanggakan. Semua karena Usaha, doa, kerja keras dan atas izin Allah. Saya mahasiswa hubungan internasional”.

Beginilah cara kami saling berbalas pesan lewat facebook yang menurutku terkadang lucu namun tetap bersahaja. Kegiatan saling berbalas pesan itu juga memberiku sedikit gambaran bahwa Dia merupakan seorang pria dewasa yang beragama, mapan dan berpendidikan. Itu terlihat dari penggunaan bahasanya yang baik.
***
Menjelang sore, sepulang dari kampus. Aku kembali membuka internet. Ku kerjakan tumpukan tugas kuliah yang baru kudapatkan dari Dosen tadi siang. Sambil mencari-cari bahan materi sesekali Aku membalas pesannya lewat facebook.

Rasa penasaranku kembali membuncah. Dia bertanya tentang alamat dan waktu luangku. Nyatanya, Dia ingin berjumpa denganku. Aku yang mulai merasakan hal aneh balik bertanya padanya

Afwan, harap jangan tersinggung, memangnya ada keperluan apa akhi ingin bertemu dengan saya. Apakah ada hal penting yang ingin akhi sampaikan. Saya rasa lewat sini juga bisa. Kan tidak akan menimbulkan fitnah. Apalagi menghemat biaya. Bukan begitu? J”.

Sejujurnya, Saya mau ketemuan sama ukhti karena ingin meyakinkan ukhti. Saya sudah menjatuhkan pilihan hanya sama ukhti. Sekarang Saya mau menikah dan semua yang saya cari selama ini ada sama ukhti. Apakah ukhti bersedia menerima khitbah Saya setelah bertemu?”.

Aku bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Memori kisah cinta lama kembali terulang dalam benakku. Hal yang membuatku sering jengkel jika harus bergelut dengan dunia ini. Selalu saja Aku dibuatnya pusing tujuh keliling. Bukan cuman masalah Hardi, Wawan, Fahmi, Arman, Hamdan, Anton, Hadist bahkan Hadi pun tidak terima dengan keputusan yang telah AKu buat hingga mereka menghilang dan telah memutuskan hubungan silaturahmi diantara kami. 

Sebenarnya Aku tidak tega meleburkan setiap rasa dan harapan mereka terhadapku. Tapi rasa cinta itu tidak ada. Jiwaku pun tidak mampu untuk Aku temukan pada diri mereka. Lagi pula Aku tidak mau mengambil keputusan seperti pacaran yang tidak jelas arah dan tujuannya apalagi pernikahan membutuhkan kesiapan fisik dan mental.

“Cinta? Syifa sadarlah, sadar. Ini cuman pengaruh masa puber tahu. Nanti juga berlalu. Ini belum waktunya. Ingat janji .Apalagi kamu masih muda dan semua itu tidak mudah karena membutuhkan pertanggung jawaban pada sang khalik. Cinta bukan cuma masalah hati tapi juga masa depan seperti apa yang kelak akan terjadi bila terlalu dini dalam mengimplementasikan rasa cinta tanpa pengetahuan yang dalam” ujarku sambil terus menata hati dan memukul-mukul kedua pipiku yang tembem. Aku lalu beristigfar

“Astagfirullah”.

Meski aneh tapi hal inilah moment yang sangat aku nantikan sejak lama. Aku ingin berpacaran setelah menikah. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya salah tingkah di depan suami dan mengenal pribadinya sejak awal pernikahan.

Kuabaikan semua pesannya. Namun keesokan harinya ia kembali bersua dengan pesan baru yang menambah panjang obrolan kami.

“Ukhti, kalau Saya tidak mau pilih-pilih akhwat. Yang penting akhwatnya baik. Jika ukhti mau dan bersedia terima khitbah Saya. Saya tidak akan memaksa ukhti untuk punya anak. Saya ikhlas membiayai kuliah ukhti sampai selesai. Saya juga ikhlas menunggu ukhti sampai ukhti wisuda. Apakah ukhti akan bersedia?”

Membaca setiap pesannya menambah kencang detak jantungku hingga tak menentu. Jiwa ragaku serasa terbang melayang mengarungi keestetikaan sang fana.

Aku tak tahu sejak kapan. Tapi semenjak kehadirannya. Kurasakan setiap kepenatan yang hadir karena tugas kini kujalani dengan lebih tenang dan bahagia. Aku begitu bahagia dan merasakan ketentraman dalam jiwa.

Menginjak minggu ketiga. Tepatnya malam senin sang ihwan semakin gencar memperlihatkan keseriusannya. Foto wisuda yang tampak beribawa dengan iringan Pesan baru ikut dia posting malam itu

“Saya akan bersabar sampai ukhti mau menerima khitbah Saya. Sekarang Saya semakin memperdalam ilmu agama lewat tarbiyah. Saya akan menabung lebih banyak untuk masa depan Saya dengan ukhti. Ya Allah Saya betul-betul mencintai dan menerima segala kelebihan dan kekurangan ukhti Syifa Nurinsan. Hanya dia yang Saya pilih jadi teman hidup. Satukan kami di dunia dan akhirat serta hindarkanlah kami dari orang-orang yang tidak senang dengan hubungan kami. Aaamiiin”.

Aku sudah gila karena semakin hanyut dibuatnya lewat arus nada indah yang terus ia alirkan lewat pesan. Betapa tidak, folder foto keluarga dan teman kuliahku pun juga ikut jadi sasaran komentarnya. Apalagi setiap usaha dan pernyataan yang ia utarakan semakin menunjukkan keseriusannya hingga rasa indah itu tepat menyentuh sukmaku malam itu. Sapaannya yang hangat dan tutur kata penuh arti lagi mendalam juga ikut menggambarkan tentang pengharapannya yang semakin besar padaku.

Kembali kukontrol perasaanku malam itu. Kucoba berpikir secara logika sambil terus mengingat pesan kedua orang tuaku.

“Inilah dunia maya yang jelas masih sangat bisa diragukan kebenarannya Syifa”.
***
Hari demi hari rasa cintaku kian membuncah. Keinginannya untuk terus menemuiku semakin melelehkan setiap bulir keraguanku. Kulakukan sholat istiharah hingga menceritakannya pada saudara perempuanku. Murabbi yang sering menjadi mak comblang setiap akhwat maupun ikhwan yang ingin menikah juga tahu akan apa yang sedang melanda sanubariku. Mereka pun mengatakan

“Semua tergantung pada diri kamu. Jikalau memang sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga maka lanjutkan. Mengingat dia pria yang baik, beragama, mapan, juga dewasa. Ingat, bahwa Ihwan ini tidak sedang main-main dan memang Dia sudah mantap untuk menikah. Jadi katakan apa yang menjadi keputusan kamu agar dia tidak terkatung dalam penantian”.
***
Sudah berapa minggu berlalu. Tapi dia tidak juga beranjak dan tetap bersemayam lembut dalam ingatanku. Malam itu aku diam seribu bahasa. Aku telah dihadapkan pada dua hal yang sama pentingnya. Pertama Aku mencintai ka Asyraf dan ingin serius menjalani hubungan. Tapi disisi lain aku harus menepati janji dan menjalankan pesan kedua orangtuaku untuk menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Kuambil secarik kertas dan kupertimbangkan dengan matang baik buruknya. Hingga kuputuskan dan membalas pesannya malam itu

 “Afwan jiddan ka. Saya tidak bermaksud meragukan apalagi menyakiti. Tapi saya punya janji dan tetap harus melanjutkan kuliah. Intinya saya tidak boleh menikah sebelum menyelesaikan kuliah. Silahkan kakak mengkhitbah akhwat lain karena sekarang saya lebih senang berteman. Semoga kakak mendapatkan yang jauh lebih baik daripada saya. Wassalam”.
Tak kusangka pesanku dia balas secepat kilat

“Tidak apa-apa ukhti. Saya akan terus menunggu sampai ukhti mau menjadi istri Saya. Wassalam”.

Sejak hari itu komunikasi kami betul-betul terhenti. Hari demi hari kucoba untuk melupakannya dengan mengabaikan perasaanku. Tapi hatiku semakin sakit. Apalagi saat mengingat semua pengorbanannya. Kelembutannya dalam membujukku masih Aku rasakan.

Rasanya perjuangan yang ia lakukan sia-sia. Teman hingga murabbi semua diperkenalkannya padaku. Begitu pun dengan cerita perjodohannya di masa lalu yang membuatku semakin mengenal akan sosoknya yang tangguh. Setelah tiga setengah tahun berlalu sejak perkenalan kami. Dia tetap abadi dalam sudut hatiku.

“Ya Allah hikmah apa yang ada dibalik ini semua. Jujur Aku masih sangat mencintainya tapi pesan dari kedua orang tua juga harus aku tunaikan” kututup mulutku dengan kedua tanganku agar tangisku tak didengar oleh keluargaku.

Ka Faiz yang merupakan sahabat karib iparku yang juga telah akrab dengan kedua orang tuaku datang melamar. Tapi hatiku telah terkunci untuk menerima cinta yang lain sejak kehadiran ka Asyraf dalam hidupku. Foto yang ia posting masih kubingkai indah dan telah lama menghiasi kamar tidurku selama beberapa tahun terakhir.

Orang tuaku hanya menggelengkan kepala saat melihat kegilaanku. Sepertinya mereka mulai dipenuhi rasa penuh penyesalan. Mereka mungkin baru menyadari atas sikapnya yang telah melarangku untuk menikah saat itu.
***
Tak kusadari. Berat badanku anjlok 25 kilo. Aku tidak bisa makan hingga pernah diinfus selama 1 bulan di ruang ICU. Bukan karena penyakit yang telah lama aku derita ataupun santet yang aku dapatkan. Tapi karena rasa cintaku yang terlalu dalam padanya. Aku telah melepaskannya pergi.

Kondisi fisik yang kian memburuk membuat orang tuaku semakin panik hingga mengambil cuti kuliah buatku ditengah ujian meja yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi. Namun Aku tidak ingin mengulang kisah pilu yang telah dialami Ka Luna. Dia telah tewas dengan posisi leher tergantung di lantai 3 gedung perkuliahan akibat tertekan karena dipaksa menikah dengan seorang pria yang tidak ia cintai.
  
    Di kesunyian malam tepat malam jum’at pukul 1. Aku terbangun dan langkahku tertuntun menuju arah dapur yang berada di samping kamarku. Pisau tajam yang tergeletak langsung membuatku berpaling pada kerang air yang tiba-tiba mengalir. Aku berwudhu lalu menunaikan sholat lail. Aku pun lalu berdoa

“Apa yang telah kuperbuat selama ini ya Allah. Sungguh Aku telah lalai dan terperdaya oleh perangkap sang Maru. Mohon Ampuni segala dosaku yang selama tiga tahun diam membusuk oleh keestetikaan sang fana. Cumbui Aku dengan semangat dan keikhlasan ya Allah. Kobarkan iman dan takwa dalam hati, jiwa, dan pikiranku hingga ragaku mampu berdiri tegap”. Tangisku tak terbendung lagi.

***
Pagi kembali menyapa dan Aku merasa baru terbangun dari tidur panjangku bagaikan Ashabul Kahfi. Kenangannya masih tersimpan namun tak seperti dulu. Semua telah kuikhlaskan hingga kondisi fisikku kian membaik. Aku pun telah kembali aktif menjalani kuliah dengan kondisi sehat bugar.

Alhamdulillah, Aku telah meraih gelar S1 dan sedang melanjutkan S2. Namun, ujian kembali datang. Ka Asyraf menyelipkan pesan baru diantara pesan lama yang telah kusam termakan waktu.

Ternyata selama ini dia tengah ditugaskan di luar negeri. Hingga komunikasi kami betul-betul putus selama hampir 4 tahun hingga Dia tidak sempat mengucapkan perpisahan keesokan harinya. Betapa bahagianya Aku. Dia juga belum memutuskan untuk menikah dengan akhwat lain.
***
Acara seminar membuka tabir kebahagiaanku saat itu. Kemeja putih, Jas hitam, dasi bermotif, celana kain dan sepatu yang mengkilap membuat salah seorang pemateri tampak gagah nan beribawa saat membawakan materi dalam acara seminar.

Hal membahagiakan itu saat Aku akan beranjak keluar setelah acara. Alim seorang teman semasa kuliah terlihat menghampiriku dengan seorang pemateri yang kukagumi karena membuatku terpukau. Ia tampak mirip dengan foto ka Asyraf. Namun Aku tidak terlalu berharap.

Hingga Alim bercerita dan menyadarkan kami. Inilah pertama kalinya kami bertemu. Alim yang seakan tak sabar menunggu kami untuk bersatu menceritakan bahwa Ka Asyraf sering bercerita padanya tentang diriku. Tak heran karena mereka bekerja pada kantor bahkan ruang yang sama. Dan dari situ pulalah Dia mengenal pribadiku lewat Alim.

“Seperti janji Allah ukhti. Bahwa Allah akan selalu beserta orang-orang yang sabar dan Saya masih bersabar menunggu ukhti. Apakah kesempatan itu masih tersedia untuk saya tanpa ada sekat lagi?”

“Hmmm. Yyyy..... Yah ka. Tentu” Ujarku terbata-bata lalu berakhir dengan nada mantap
Dengan sikap konyol kusuruh Alim mencubit lenganku yang dibalut jubah dengan warna hijau lembut. Ternyata Aku tidak sedang bermimpi. Dia kembali berkata  

“Alhamdulillah ya Allah. Betapa Allah ingin menyatukan kita ukhti. Kita telah dipertemukan pada saat yang tepat. Ukhti saya tidak ingin mengulur waktu lagi. Insya Allah minggu ini juga Saya akan datang kerumah ukhti bersama keluarga besar Saya. Mengingat janji ukhti juga sudah terpenuhi sehingga tidak ada alasan lain. Apakah ukhti bersedia?”

“Dengan senang hati ka. Keluarga, pintu, jendela bahkan bunga-bunga di halaman telah menunggu kehadiran kakak. Semua tentu terbuka lebar menyambut kedatangan kakak dan keluarga minggu ini juga. Betapa moment ini sangat Aku nantikan” Ujarku dengan nada lembut berbalut bahagia

“Pegang janjiku dalam waktu seminggu ini ukhti. Wassalam”

“Wassalam”  

Terik matahari yang menyengat menjadi tak berarti. Yang kutahu saat kami berjumpa kami hanya terus menunjukkan ekspresi wajah bahagia sambil terus melempar senyum manis hingga berpamitan.

   Sungguh kita tidak akan pernah tahu atas apa yang akan terjadi dalam setiap detik perjalanan hidup ini.
***
Tiga hari kemudian. Hpku berdering. Kutinggalkan kakak dan ibu yang sedang sibuk membuat kue di dapur. Aku langsung menuju ruang tamu. Kulihat Alim memanggil dan setelah kuangkat ia lalu berkata dengan nada terbata-bata tanpa spasi

“Assalamu alaikum wr.wb. Ukhti, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi sebelumnya saya ingin ukhti kuat mendengar ini dan mampu ikhlas. Ukhti, kedua orang tua Asyraf wafat pagi ini karena kecelakaan pesawat. Yang tidak saya mengerti besok Asyraf harus melangsungkan pernikahan dengan seorang akhwat yang bernama Fitri Almira. Akhwat itu merupakan wasiat dari kedua orangtuanya yang dituliskan sebulan yang lalu. Undangan telah disebar tanpa sepengetahuan Asyraf hingga Asyraf pun seakan tidak sadar dengan apa yang sedang dijalaninya. Semoga ukhti semakin kuat dan mampu bersabar”.

Klik, Hpku langsung jatuh berhamburan di lantai. Kasing dan baterainya pun berserakan entah kemana. Betul-betul menyayat hati hingga nadiku seakan tak berdenyut lagi.

Belum lama Aku merasa bahagia. Sekarang Aku harus kembali terhempas dalam kubangan kesedihan menyayat hati. Rasanya teriris sembilu tapi inilah suratan takdir. Dia harus melangsungkan pernikahan yang kudengar memang sudah direncanakan oleh keluarga besarnya tanpa sepengetahuannya.

Waktu seminggu yang aku berikan untuk datang mengkhitbahku ternyata digunakan untuk menikahi akhwat lain. Undangannya pun ternyata sudah lama disebar. Alim berkata ka Asyraf cuman bisa pasrah dengan keadaan yang semakin tertekan. Yah itu kutahu dari pembicaraanku dengan Alim juga undangan pernikahannya yang datang kerumahku sore itu.
***
Malam itu Aku terpaksa memblokirnya. Sebagai akhir lembaran kisahku dengannya. Sudah kubulatkan tekad untuk berhenti membalas pesannya.

Aku hanya tidak habis pikir. Jika betul dia mencintaiku dengan tulus dan penuh keseriusan mengapa hal itu tidak pernah ia utarakan kepada kedua orang tuanya. Hanya Allah yang berhak menilai atas tindakan yang ia telah lakukan.

Satu hal bahwa semua sudah tertera dalam kitab lauh mahfudz. Aku hanya harus tetap berdiri dan berjalan tegap bahkan bila harus berlari kedepan agar bisa meraih kebahagiaanku bersama pria lain yang akan menjadi teman hidupku kelak. Masa depanku masih panjang dan lembaran kisah baru belum kutorehkan dengan tinta emas yang akan senantiasa aku hiasi dengan cinta dan ketaatan pada suamiku.
***
Empat tahun telah berlalu sejak pernikahannya. Dan Aku masih juga hidup sendiri. Menurut kabar yang beredar kini sang ihwan telah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki yang lucu. Sedangkan Aku tetap saja sibuk mengejar cita-citaku.
***
Aku telah meraih gelar S3 dan berprofesi sebagai rektor di salah satu universitas di ibukota. Tepat di usia 30 tahun Aku pun menerbitkan sebuah buku yang berjudul “MENCUMBU KEIKHLASAN”. Tak kusangka. Bukuku laris terjual bahkan ternyata telah mengispirasi banyak wanita di dunia.

Penghargaan demi penghargaan Aku dapatkan. Salah satunya sebagai motivator wanita handal dan salah seorang penulis best seller terbaik dunia. Aku semakin merasakan kepuasan dan ketenangan lewat menulis yang kebanyakan berasal dari pengalaman pribadiku.

Tapi sejak Aku mengecap ketenaran dan sering di beritakan di media berita maupun infotaiment. Membuatku tidak nyaman. Kehidupan pribadiku telah ikut menjadi buah bibir masyarakat yang lebih menjurus pada kisah lamaku bersama ka Asyraf yang berakhir tragis.
***
Keluargaku kaget. Aku telah mengundurkan diri menjadi rektor dan telah memutuskan untuk pindah ke Cleopatra. Negara seribu menara yang lebih dikenal dengan nama Cairo Mesir. Aku ingin memperdalam ilmu agama dan berbagi pengalaman dengan mahasiswa yang sedang menempu study disana selama beberapa tahun.

Ternyata disanalah Tuhan menjabah doaku. Jiwaku ada di Cleopatra.

Aku dipertemukan dengan seorang pria berkebangsaan Indonesia. Kesibukanku mengadakan acara sosial, bedah buku hingga pelatihan menulis ternyata sering ia saksikan secara diam-diam di KBRI. Ia meruapakan sosok yang juga paling berjasa dalam menyukseskan setiap event yang kuadakan.

Satu minggu kami mengenal hingga mantap memutuskan untuk menikah.

Sekarang, Kami telah tinggal disebuah rumah sederhana yang penuh dengan cinta dan kehangatan dengan nuansa islami. Hari-hari kami pun sering dipenuhi dengan cerita lucu nan membahagiakan. Seperti saat aku belajar mengenakan dasinya ataupun saat Dia salah memasukkan bumbu dalam masakan yang sedang kami buat.

Pagi itu sebelum Ka Alif berangkat ke kantor. Tanpa kusadari Dia langsung memelukku erat dari belakang dengan seragam kantornya yang harum semerbak. Sambil memelukku yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Dia lalu berbisik dengan nada lembut nan menyentuh di telinga kananku

“Ukhti tahu? Setiap postingan itu merasuk lembut sukmaku hingga  Aku luluh dan hanyut terpesona oleh pengutaraan bahasa puitis nan mendalam yang ia utarakan. Akulah sang pengagum rahasia blog Mutiara Hikmah Sanubari. Ukhti, Aku teramat mencintaimu karena Allah. Betapa bersyukurnya Aku yang telah menemukan hatiku dalam relung jiwamu. Aku pamit yah Humairah, masak yang enak yah. Assalamu alaikum wr.wb.” Dia pun berlalu setelah sempat mengecup lembut pipiku yang dipenuhi tepung roti.

“Tuhan kini telah kutemukan jiwaku di Cleopatra” Ujarku dalam hati dengan nada bahagia dan dengan wajah berseri.

No comments: