Pagi yang cerah kembali menyapa. Sama seperti biasa. Secangkir
teh hangat dan semangkuk bubur selalu menjadi menu sarapan pagiku. Itulah teman
setia saat Aku akan memulai aktivitas.
Sejak kecil aku mengidap penyakit akut yang mewajibkanku
untuk sarapan tepat waktu. Apalagi dengan kesibukan yang semakin padat sebagai mahasiswa.
Tapi itu semua selalu kujalani dan kunikmati sebagai karunia dari Allah yang
maha kuasa terhadap diriku. Nikmat iman, hidup, keluarga, hingga percintaan sering
aku utarakan lewat facebook.
Pagi itu sukmaku kembali bersua. Kutorehkan untaian nada
indah di akunku. Facebook yang secara tidak langsung telah menjadi tempat
curhatan sekian ribu orang juga telah ikut menjadi tempat curahan sanubariku
dalam berbagi suka maupun duka.
Tanpa mengulur waktu. Kuambil notebook dan modem yang berada
tepat di atas lemari baju. Merekalah yang setia menemani hari-hariku dalam
mengerjakan tumpukan tugas kuliah sejak masuk di bangku perkuliahan. Hadiah
terindah pemberian kedua orang tuaku ini menjadi bukti kerja kerasku selama
bersekolah. Sejak SD hingga SMA Aku telah meraih prestasi baik di tingkat
akademik maupun non akademik. Sehingga orang tuaku semakin protektif terhadapku
dengan menghadiahkannya. Mereka ingin agar aku lebih fokus belajar dan mampu
meraih cita-citaku.
***
“Wow???, Subhanallah, amazing.” Aku shock sambil memegang
kedua pipiku yang tembem. Spontan aku terkaget-kaget saat melihat setiap
statusku yang telah dua minggu kutinggalkan kini telah dihiasi komentar. Komentar
yang sungguh mulia lagi bermakna dengan nada agung bertuliskan Subhanallah, Alhamdulillah,
Masya Allah, dan Allahu Akbar.
Dia telah melukis indah dinding facebook milikku dengan balutan
nuansa islami yang tampak semakin menawan. Kusorotkan mata bulatku pada foto
profil pemilik komentar yang tampak pada dinding facebookku. Masya Allah,
ternyata komentar itu berasal dari seorang ihwan.
“Masya Allah. Pantas saja komentar ini begitu membuatku
terpukau. Ternyata dari seorang ikhwan” ujarku dengan nada bahagia.
Inilah awal dimana takdir mempertemukan kami lewat akun
facebook. Setelah lebih dari satu minggu. Aku kembali bersua dengan dunia maya.
Nyatanya, ia tidak juga beranjak menghiasi setiap statusku dengan komentar
indahnya.
Aku yang mulai penasaran, tanpa berpikir panjang langsung
menyapa untuk pertama kalinya lewat obrolan pesan facebook.
“Assalamu alaikum wr.wb. Afwan, cuman mau tanya apa akhi
kenal sama saya?”
“Waalaikum salam wr.wb. Sebenarnya tidak ukhti. Tapi sekarang,
saya mulai belajar mengenal ukhti”
“Afwan, maksudnya?”
“Perkenalkan nama saya Muhammad Asyraf. Sekarang Saya
sudah berusia 26 tahun dan berprofesi sebagai badan pemeriksa keuangan di
gedung rektorat universitas Leader. Saya juga sudah menyelesaikan S1 dan S2 di
Universitas Leader. Dulu saya seorang mahasiswa jurusan ekonomi akuntansi.
Alhamdulillah, Saya tidak pernah pacaran dan belum menikah. Kalau ukhti fakultas
dan jurusan apa?”
Membaca pesannya Aku langsung tertawa hingga perutku
kesakitan. Bagaimana tidak. Dia seakan sedang memperkenalkan dirinya secara
resmi di hadapan juri pemilihan kontes kontak jodoh. Pekerjaan, usia hingga
status yang sedang disandangnya juga ikut Dia jelaskan tanpa Aku minta. Tapi
karena menghargai prestasi yang telah Dia raih maka kubalas dengan pujian.
“Subhanallah.
Prestasi yang sangat membanggakan. Semua karena Usaha, doa, kerja keras dan
atas izin Allah. Saya mahasiswa hubungan internasional”.
Beginilah cara kami saling berbalas pesan lewat facebook
yang menurutku terkadang lucu namun tetap bersahaja. Kegiatan saling berbalas
pesan itu juga memberiku sedikit gambaran bahwa Dia merupakan seorang pria
dewasa yang beragama, mapan dan berpendidikan. Itu terlihat dari penggunaan
bahasanya yang baik.
***
Menjelang sore, sepulang dari kampus. Aku kembali membuka
internet. Ku kerjakan tumpukan tugas kuliah yang baru kudapatkan dari Dosen
tadi siang. Sambil mencari-cari bahan materi sesekali Aku membalas pesannya
lewat facebook.
Rasa penasaranku kembali membuncah. Dia bertanya tentang
alamat dan waktu luangku. Nyatanya, Dia ingin berjumpa denganku. Aku yang mulai
merasakan hal aneh balik bertanya padanya
“Afwan, harap jangan tersinggung, memangnya ada keperluan
apa akhi ingin bertemu dengan saya. Apakah ada hal penting yang ingin akhi
sampaikan. Saya rasa lewat sini juga bisa. Kan tidak akan menimbulkan fitnah. Apalagi
menghemat biaya. Bukan begitu? J”.
“Sejujurnya, Saya mau ketemuan sama
ukhti karena ingin meyakinkan ukhti. Saya sudah menjatuhkan pilihan hanya sama ukhti. Sekarang Saya mau menikah dan semua
yang saya cari selama ini ada sama ukhti. Apakah ukhti bersedia menerima
khitbah Saya setelah bertemu?”.
Aku bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Memori
kisah cinta lama kembali terulang dalam benakku. Hal yang membuatku sering
jengkel jika harus bergelut dengan dunia ini. Selalu saja Aku dibuatnya pusing
tujuh keliling. Bukan cuman masalah Hardi, Wawan, Fahmi, Arman, Hamdan, Anton,
Hadist bahkan Hadi pun tidak terima dengan keputusan yang telah AKu buat hingga mereka menghilang dan telah memutuskan hubungan silaturahmi diantara kami.
Sebenarnya Aku tidak tega meleburkan setiap rasa dan
harapan mereka terhadapku. Tapi rasa cinta itu tidak ada. Jiwaku pun tidak mampu
untuk Aku temukan pada diri mereka. Lagi pula Aku tidak mau mengambil keputusan seperti
pacaran yang tidak jelas arah dan tujuannya apalagi pernikahan membutuhkan
kesiapan fisik dan mental.
“Cinta? Syifa
sadarlah, sadar. Ini cuman pengaruh masa puber tahu. Nanti juga berlalu. Ini belum waktunya. Ingat janji .Apalagi kamu masih
muda dan semua itu tidak mudah karena membutuhkan pertanggung jawaban pada sang
khalik. Cinta bukan cuma masalah hati tapi juga masa depan seperti apa yang
kelak akan terjadi bila terlalu dini dalam mengimplementasikan rasa cinta tanpa
pengetahuan yang dalam” ujarku sambil terus menata hati dan memukul-mukul kedua
pipiku yang tembem. Aku lalu beristigfar
“Astagfirullah”.
Meski aneh tapi
hal inilah moment yang sangat aku nantikan sejak lama. Aku ingin berpacaran
setelah menikah. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya salah tingkah di depan
suami dan mengenal pribadinya sejak awal pernikahan.
Kuabaikan semua
pesannya. Namun keesokan harinya ia kembali bersua dengan pesan baru yang
menambah panjang obrolan kami.
“Ukhti, kalau Saya tidak mau pilih-pilih
akhwat. Yang penting akhwatnya baik. Jika ukhti mau dan bersedia terima khitbah
Saya. Saya tidak akan memaksa ukhti untuk punya anak. Saya ikhlas membiayai
kuliah ukhti sampai selesai. Saya juga ikhlas menunggu ukhti sampai ukhti
wisuda. Apakah ukhti akan bersedia?”
Membaca setiap
pesannya menambah kencang detak jantungku hingga tak menentu. Jiwa
ragaku serasa terbang melayang mengarungi keestetikaan sang fana.
Aku tak tahu
sejak kapan. Tapi semenjak kehadirannya. Kurasakan setiap kepenatan yang hadir
karena tugas kini kujalani dengan lebih tenang dan bahagia. Aku begitu bahagia
dan merasakan ketentraman dalam jiwa.
Menginjak
minggu ketiga. Tepatnya malam senin sang ihwan semakin gencar memperlihatkan
keseriusannya. Foto wisuda yang tampak beribawa dengan iringan Pesan baru ikut dia posting malam itu
“Saya akan
bersabar sampai ukhti mau menerima khitbah Saya. Sekarang Saya semakin memperdalam
ilmu agama lewat tarbiyah. Saya akan menabung lebih banyak untuk masa depan Saya
dengan ukhti. Ya Allah Saya betul-betul mencintai dan menerima segala kelebihan
dan kekurangan ukhti Syifa Nurinsan. Hanya dia yang Saya pilih jadi teman hidup.
Satukan kami di dunia dan akhirat serta hindarkanlah kami dari orang-orang yang
tidak senang dengan hubungan kami. Aaamiiin”.
Aku sudah gila karena semakin
hanyut dibuatnya lewat arus nada indah yang terus ia alirkan lewat pesan. Betapa
tidak, folder foto keluarga dan teman kuliahku pun juga ikut jadi sasaran
komentarnya. Apalagi setiap usaha dan pernyataan yang ia utarakan semakin
menunjukkan keseriusannya hingga rasa indah itu tepat menyentuh sukmaku malam itu. Sapaannya
yang hangat dan tutur kata penuh arti lagi mendalam juga ikut menggambarkan tentang pengharapannya
yang semakin besar padaku.
Kembali
kukontrol perasaanku malam itu. Kucoba berpikir secara logika sambil terus
mengingat pesan kedua orang tuaku.
“Inilah dunia
maya yang jelas masih sangat bisa diragukan kebenarannya Syifa”.
***
Hari demi hari rasa
cintaku kian membuncah. Keinginannya untuk terus menemuiku semakin melelehkan
setiap bulir keraguanku. Kulakukan sholat istiharah hingga menceritakannya pada
saudara perempuanku. Murabbi yang sering menjadi mak comblang setiap akhwat
maupun ikhwan yang ingin menikah juga tahu akan apa yang sedang melanda
sanubariku. Mereka pun mengatakan
“Semua tergantung pada diri kamu. Jikalau
memang sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga maka lanjutkan. Mengingat dia
pria yang baik, beragama, mapan, juga dewasa. Ingat, bahwa Ihwan ini tidak
sedang main-main dan memang Dia sudah mantap untuk menikah. Jadi katakan apa
yang menjadi keputusan kamu agar dia tidak terkatung dalam penantian”.
***
Sudah berapa
minggu berlalu. Tapi dia tidak juga beranjak dan tetap bersemayam lembut dalam
ingatanku. Malam itu aku diam seribu bahasa. Aku telah dihadapkan pada dua hal
yang sama pentingnya. Pertama Aku mencintai ka Asyraf dan ingin serius menjalani
hubungan. Tapi disisi lain aku harus menepati janji dan menjalankan pesan kedua
orangtuaku untuk menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Kuambil secarik kertas
dan kupertimbangkan dengan matang baik buruknya. Hingga kuputuskan dan membalas
pesannya malam itu
“Afwan
jiddan ka. Saya tidak bermaksud meragukan apalagi menyakiti. Tapi saya punya
janji dan tetap harus melanjutkan kuliah. Intinya saya tidak boleh menikah
sebelum menyelesaikan kuliah. Silahkan kakak mengkhitbah akhwat lain karena
sekarang saya lebih senang berteman. Semoga kakak mendapatkan yang jauh lebih
baik daripada saya. Wassalam”.
Tak kusangka pesanku dia balas secepat
kilat
“Tidak apa-apa ukhti. Saya akan terus
menunggu sampai ukhti mau menjadi istri Saya. Wassalam”.
Sejak hari itu
komunikasi kami betul-betul terhenti. Hari demi hari kucoba untuk melupakannya
dengan mengabaikan perasaanku. Tapi hatiku semakin sakit. Apalagi saat mengingat
semua pengorbanannya. Kelembutannya dalam membujukku masih Aku rasakan.
Rasanya
perjuangan yang ia lakukan sia-sia. Teman hingga murabbi semua diperkenalkannya
padaku. Begitu pun dengan cerita perjodohannya di masa lalu yang membuatku semakin
mengenal akan sosoknya yang tangguh. Setelah tiga setengah tahun berlalu sejak
perkenalan kami. Dia tetap abadi dalam sudut hatiku.
“Ya Allah hikmah apa yang ada dibalik
ini semua. Jujur Aku masih sangat mencintainya tapi pesan dari kedua orang tua
juga harus aku tunaikan” kututup mulutku dengan kedua tanganku agar tangisku
tak didengar oleh keluargaku.
Ka Faiz yang
merupakan sahabat karib iparku yang juga telah akrab dengan kedua orang tuaku
datang melamar. Tapi hatiku telah terkunci untuk menerima cinta yang lain sejak
kehadiran ka Asyraf dalam hidupku. Foto yang ia posting masih kubingkai indah
dan telah lama menghiasi kamar tidurku selama beberapa tahun terakhir.
Orang tuaku
hanya menggelengkan kepala saat melihat kegilaanku. Sepertinya mereka mulai
dipenuhi rasa penuh penyesalan. Mereka mungkin baru menyadari atas sikapnya
yang telah melarangku untuk menikah saat itu.
***
Tak kusadari. Berat
badanku anjlok 25 kilo. Aku tidak bisa makan hingga pernah diinfus selama 1
bulan di ruang ICU. Bukan karena penyakit yang telah lama aku derita ataupun
santet yang aku dapatkan. Tapi karena rasa cintaku yang terlalu dalam padanya. Aku
telah melepaskannya pergi.
Kondisi fisik
yang kian memburuk membuat orang tuaku semakin panik hingga mengambil cuti
kuliah buatku ditengah ujian meja yang akan diselenggarakan beberapa minggu
lagi. Namun Aku tidak ingin mengulang kisah pilu yang telah dialami Ka Luna. Dia
telah tewas dengan posisi leher tergantung di lantai 3 gedung perkuliahan
akibat tertekan karena dipaksa menikah dengan seorang pria yang tidak ia
cintai.
Di kesunyian malam tepat malam
jum’at pukul 1. Aku terbangun dan langkahku tertuntun menuju arah dapur yang
berada di samping kamarku. Pisau tajam yang tergeletak langsung membuatku berpaling
pada kerang air yang tiba-tiba mengalir. Aku berwudhu lalu menunaikan sholat
lail. Aku pun lalu berdoa
“Apa yang telah kuperbuat selama ini ya
Allah. Sungguh Aku telah lalai dan terperdaya oleh perangkap sang Maru. Mohon Ampuni
segala dosaku yang selama tiga tahun diam membusuk oleh keestetikaan sang fana.
Cumbui Aku dengan semangat dan keikhlasan ya Allah. Kobarkan iman dan takwa
dalam hati, jiwa, dan pikiranku hingga ragaku mampu berdiri tegap”. Tangisku tak
terbendung lagi.
***
Pagi kembali
menyapa dan Aku merasa baru terbangun dari tidur panjangku bagaikan Ashabul
Kahfi. Kenangannya masih tersimpan namun tak seperti dulu. Semua telah
kuikhlaskan hingga kondisi fisikku kian membaik. Aku pun telah kembali aktif menjalani
kuliah dengan kondisi sehat bugar.
Alhamdulillah, Aku
telah meraih gelar S1 dan sedang melanjutkan S2. Namun, ujian kembali datang. Ka
Asyraf menyelipkan pesan baru diantara pesan lama yang telah kusam termakan
waktu.
Ternyata selama
ini dia tengah ditugaskan di luar negeri. Hingga komunikasi kami betul-betul
putus selama hampir 4 tahun hingga Dia tidak sempat mengucapkan perpisahan
keesokan harinya. Betapa bahagianya Aku. Dia juga belum memutuskan untuk menikah
dengan akhwat lain.
***
Acara seminar
membuka tabir kebahagiaanku saat itu. Kemeja putih, Jas hitam, dasi bermotif,
celana kain dan sepatu yang mengkilap membuat salah seorang pemateri tampak gagah
nan beribawa saat membawakan materi dalam acara seminar.
Hal
membahagiakan itu saat Aku akan beranjak keluar setelah acara. Alim seorang
teman semasa kuliah terlihat menghampiriku dengan seorang pemateri yang kukagumi
karena membuatku terpukau. Ia tampak mirip dengan foto ka Asyraf. Namun Aku
tidak terlalu berharap.
Hingga Alim bercerita
dan menyadarkan kami. Inilah pertama kalinya kami bertemu. Alim yang seakan tak
sabar menunggu kami untuk bersatu menceritakan bahwa Ka Asyraf sering bercerita
padanya tentang diriku. Tak heran karena mereka bekerja pada kantor bahkan
ruang yang sama. Dan dari situ pulalah Dia mengenal pribadiku lewat Alim.
“Seperti
janji Allah ukhti. Bahwa Allah akan selalu beserta orang-orang yang sabar dan Saya
masih bersabar menunggu ukhti. Apakah kesempatan itu masih tersedia untuk saya
tanpa ada sekat lagi?”
“Hmmm. Yyyy..... Yah ka. Tentu” Ujarku
terbata-bata lalu berakhir dengan nada mantap
Dengan sikap konyol kusuruh Alim
mencubit lenganku yang dibalut jubah dengan warna hijau lembut. Ternyata Aku
tidak sedang bermimpi. Dia kembali berkata
“Alhamdulillah ya Allah. Betapa Allah ingin
menyatukan kita ukhti. Kita telah dipertemukan pada saat yang tepat. Ukhti saya
tidak ingin mengulur waktu lagi. Insya Allah minggu ini juga Saya akan datang
kerumah ukhti bersama keluarga besar Saya. Mengingat janji ukhti juga sudah
terpenuhi sehingga tidak ada alasan lain. Apakah ukhti bersedia?”
“Dengan senang hati ka. Keluarga,
pintu, jendela bahkan bunga-bunga di halaman telah menunggu kehadiran kakak.
Semua tentu terbuka lebar menyambut kedatangan kakak dan keluarga minggu ini
juga. Betapa moment ini sangat Aku nantikan” Ujarku dengan nada lembut berbalut
bahagia
“Pegang janjiku dalam waktu seminggu
ini ukhti. Wassalam”
“Wassalam”
Terik matahari yang
menyengat menjadi tak berarti. Yang kutahu saat kami berjumpa kami hanya terus
menunjukkan ekspresi wajah bahagia sambil terus melempar senyum manis hingga berpamitan.
Sungguh
kita tidak akan pernah tahu atas apa yang akan terjadi dalam setiap detik
perjalanan hidup ini.
***
Tiga hari
kemudian. Hpku berdering. Kutinggalkan kakak dan ibu yang sedang sibuk membuat
kue di dapur. Aku langsung menuju ruang tamu. Kulihat Alim memanggil dan
setelah kuangkat ia lalu berkata dengan nada terbata-bata tanpa spasi
“Assalamu alaikum wr.wb. Ukhti, saya
tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi sebelumnya saya ingin ukhti kuat
mendengar ini dan mampu ikhlas. Ukhti, kedua orang tua Asyraf wafat pagi ini
karena kecelakaan pesawat. Yang tidak saya mengerti besok Asyraf harus
melangsungkan pernikahan dengan seorang akhwat yang bernama Fitri Almira. Akhwat
itu merupakan wasiat dari kedua orangtuanya yang dituliskan sebulan yang lalu. Undangan
telah disebar tanpa sepengetahuan Asyraf hingga Asyraf pun seakan tidak sadar
dengan apa yang sedang dijalaninya. Semoga ukhti semakin kuat dan mampu bersabar”.
Klik, Hpku langsung
jatuh berhamburan di lantai. Kasing dan baterainya pun berserakan entah kemana.
Betul-betul menyayat hati hingga nadiku seakan tak berdenyut lagi.
Belum lama Aku
merasa bahagia. Sekarang Aku harus kembali terhempas dalam kubangan kesedihan
menyayat hati. Rasanya teriris sembilu tapi inilah suratan takdir. Dia harus melangsungkan
pernikahan yang kudengar memang sudah direncanakan oleh keluarga besarnya tanpa
sepengetahuannya.
Waktu seminggu
yang aku berikan untuk datang mengkhitbahku ternyata digunakan untuk menikahi
akhwat lain. Undangannya pun ternyata sudah lama disebar. Alim berkata ka
Asyraf cuman bisa pasrah dengan keadaan yang semakin tertekan. Yah itu kutahu
dari pembicaraanku dengan Alim juga undangan pernikahannya yang datang
kerumahku sore itu.
***
Malam itu Aku terpaksa
memblokirnya. Sebagai akhir lembaran kisahku dengannya. Sudah kubulatkan tekad
untuk berhenti membalas pesannya.
Aku hanya tidak
habis pikir. Jika betul dia mencintaiku dengan tulus dan penuh keseriusan
mengapa hal itu tidak pernah ia utarakan kepada kedua orang tuanya. Hanya Allah
yang berhak menilai atas tindakan yang ia telah lakukan.
Satu hal bahwa
semua sudah tertera dalam kitab lauh mahfudz. Aku hanya harus tetap berdiri dan
berjalan tegap bahkan bila harus berlari kedepan agar bisa meraih kebahagiaanku
bersama pria lain yang akan menjadi teman hidupku kelak. Masa depanku masih
panjang dan lembaran kisah baru belum kutorehkan dengan tinta emas yang akan
senantiasa aku hiasi dengan cinta dan ketaatan pada suamiku.
***
Empat tahun
telah berlalu sejak pernikahannya. Dan Aku masih juga hidup sendiri. Menurut
kabar yang beredar kini sang ihwan telah dikaruniai seorang anak perempuan dan
laki-laki yang lucu. Sedangkan Aku tetap saja sibuk mengejar cita-citaku.
***
Aku telah
meraih gelar S3 dan berprofesi sebagai rektor di salah satu universitas di
ibukota. Tepat di usia 30 tahun Aku pun menerbitkan sebuah buku yang berjudul “MENCUMBU
KEIKHLASAN”. Tak kusangka. Bukuku laris terjual bahkan ternyata telah
mengispirasi banyak wanita di dunia.
Penghargaan demi
penghargaan Aku dapatkan. Salah satunya sebagai motivator wanita handal dan salah
seorang penulis best seller terbaik dunia. Aku semakin merasakan kepuasan dan ketenangan
lewat menulis yang kebanyakan berasal dari pengalaman pribadiku.
Tapi sejak Aku mengecap
ketenaran dan sering di beritakan di media berita maupun infotaiment. Membuatku
tidak nyaman. Kehidupan pribadiku telah ikut menjadi buah bibir masyarakat yang
lebih menjurus pada kisah lamaku bersama ka Asyraf yang berakhir tragis.
***
Keluargaku
kaget. Aku telah mengundurkan diri menjadi rektor dan telah memutuskan untuk pindah
ke Cleopatra. Negara seribu menara yang lebih dikenal dengan nama Cairo Mesir.
Aku ingin memperdalam ilmu agama dan berbagi pengalaman dengan mahasiswa yang
sedang menempu study disana selama beberapa tahun.
Ternyata
disanalah Tuhan menjabah doaku. Jiwaku ada di Cleopatra.
Aku dipertemukan
dengan seorang pria berkebangsaan Indonesia. Kesibukanku mengadakan acara sosial,
bedah buku hingga pelatihan menulis ternyata sering ia saksikan secara
diam-diam di KBRI. Ia meruapakan sosok yang juga paling berjasa dalam menyukseskan
setiap event yang kuadakan.
Satu minggu kami
mengenal hingga mantap memutuskan untuk menikah.
Sekarang, Kami telah
tinggal disebuah rumah sederhana yang penuh dengan cinta dan kehangatan dengan
nuansa islami. Hari-hari kami pun sering dipenuhi dengan cerita lucu nan
membahagiakan. Seperti saat aku belajar mengenakan dasinya ataupun saat Dia
salah memasukkan bumbu dalam masakan yang sedang kami buat.
Pagi itu sebelum
Ka Alif berangkat ke kantor. Tanpa kusadari Dia langsung memelukku erat dari belakang
dengan seragam kantornya yang harum semerbak. Sambil memelukku yang sedang
sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Dia lalu berbisik dengan nada lembut nan
menyentuh di telinga kananku
“Ukhti tahu? Setiap postingan itu merasuk
lembut sukmaku hingga Aku luluh dan hanyut terpesona oleh
pengutaraan bahasa puitis nan mendalam yang ia utarakan. Akulah sang pengagum
rahasia blog Mutiara Hikmah Sanubari.
Ukhti, Aku teramat mencintaimu karena Allah. Betapa bersyukurnya Aku
yang telah menemukan hatiku dalam relung jiwamu. Aku pamit yah
Humairah, masak yang enak yah. Assalamu alaikum wr.wb.” Dia pun berlalu setelah sempat mengecup
lembut pipiku yang dipenuhi tepung roti.
“Tuhan kini telah kutemukan jiwaku di
Cleopatra” Ujarku dalam hati dengan nada bahagia dan dengan wajah berseri.